TIMES BANJAR, BANJAR – Persoalan penolakan penggunaan ambulan oleh UPTD Puskesmas Il Kota Banjar terhadap pasien yang kritis di desa Neglasari menuai sorotan Publik. Posnu Kota Banjar menyampaikan bahwasanya penolakan tersebut merupakan hal yang memprihatinkan dan jauh dari prinsip dasar pelayanan kesehatan.
Menurutnya, berdasarkan riwayat kasus yang terjadi, penolakan tersebut tidak semestinya terjadi mengingat semua dalam kondisi panik karena ada keselamatan yang berkaitan dengan nyawa seorang warga atau masyarakat.
"Penolakan tersebut tidak semestinya terjadi mengingat ini berkenaan dengan keselamatan nyawa seseorang. Paradigma berpikir yang ada harus dirubah. Adanya fasilitas kesehatan termasuk ambulan itu kan memang untuk mempermudah dan mempercepat layanan, lha ini kok malah jadi sulit. Berarti ada yang harus dikoreksi. Apa harus nunggu ada korban dulu baru bertindak? Enggak kan?" Kata Muhlison.
"Kan nilai kemanusiaan, responsif dan empaty dalam pelayanan kesehatan juga utama. Kenapa prinsip empati ini seolah hilang. Saya kira perlu perubahan paradigma pelayanan kesehatan, dan itu bukan hanya UPT Puskesmas yang bersangkutan, tapi menyeluruh," imbuhnya.
Melalui keteranganya, Muhlison juga mengungkapkan keanehan pihak puskesmas yang saat menerima aduan permintaan pertolongan justru malah terkesan memarahi pihak perwakilan desa dan malah memperdebatkan posisi Bhabinkamtibmas yang mendampingi perangkat desa bahwa seolah-olah ketika ada kehadiran Bhabinkamtibmas di satu desa harus melaporkan keberadaanya ke yang bersangkutan atau pihak puskesmas.
Dengan banyaknya pihak yang meminta pertolongan dan yang bersangkutan tidak bisa mengambil keputusan sendiri, disampaikan Muhlison, seyogyanya yang segera berkordinasi ke pimpinan yang lebih tinggi untuk mencari solusi kongkrit dan bersifat cepat demi mempertimbangkan keselamatan warga yang sakit.
"Ya kan itu pihak pemerintah desa kan sudah jelas, dari Babinkamtibmas juga mendampingi, harusnya kan yang bersangkutan respect dan mampu membaca keadaan bahwa hal itu memang ada kejadian serius. Kan bagusnya cepat kordinasi dengan pimpinan yang lebih tinggi biar diambil langkah cepat dan solutif," ujar Muhlison.
Kepala Dinkes Saepudin dan stafnya saat memberikan keterangan pers. (Foto: Susi/Times Indonesia)
"Lha ini kok seolah menyudutkan pemerintah desa. Itu kan kejadian insidentil yang berdampak paniknya warga, Kok ya malah ribut mempersoalkan Bhabinkamtibmas, apa setiap ada Bhabinkamtibmas harus melapor ke yang bersangkutan? Harus kenal dia dulu? Apa tidak percaya dengan laporan dan permintaan tolong yang ada? Harusnya ya kalau bukan posisi pengambil kebijakan atau keputusan segera komunikasi dan koordinasi ke pimpinan di atasnya biar dicari langkah cepat dan solutif," lanjutnya.
Agar ke depan insiden penolakan pasien pengguna ambulan tidak kembali terjadi, mantan ketua PMII Kota Banjar itu meminta jajaran Dinkes kota Banjar merubah paradigma pelayanan yang ada. Ia menegaskan bahwa rencana perubahan SOP melalui SE Walikota terkait tidak bisa berarti banyak tanpa ada aplikasi di lapangan.
Akan tetapi, pemahaman dan kesadaran terhadap fungsi keberadaan petugas layanan kesehatan terhadap hak dasar masyarakat dalam memperoleh kemudahan akses layanan, apa lagi ketika dalam kondisi mendesak yang mana tidak hanya melihat suatu keputusan hanya berdasar satu aspek.
Tidak hanya itu, ia juga menyoroti sikap dari pihak puskesmas yang justru seolah menunjukan arogansi kebijakan dengan menggunakan dalih normatif sehingga seperti terlihat ingin mengesankan bahwa pihaknya berada di posisi yang sudah benar sehingga dalam pernyataanya tidak ada kata mengeluarkan kata maaf atas insiden yang ada.
"SE Walikota untuk perubahan SOP saja tidak cukup, ini harus dibarengi kesadaran akan makna dari sebuah layanan kesehatan dari para petugas dan jajaran di dinas kesehatan. Ada hal yang harus lebih bisa diutamakan ketika dalam hal darurat dan bersifat insidentil. Kan jarak puskesmas sama lokasi kejadian enggak jauh tuh. Ini kan miris dan memprihatinkan, ini tidak boleh terulang," tegas Muhlison.
"Harusnya kan petugas puskesmas memahami keadaan dan menenangkan sambil berkoordinasi. Lha ini kok malah terlihat seolah ingin menunjukan terlihat di posisi benar. Kita juga melihat tidak ada penyataan maaf atas ketidaknyamanan layanan yang ada, seakan menegaskan bahwa SOP dan keputusan kepala puskesmas adalah penentu semuanya. Padahal kan masih ada pemimpin yang lebih tinggi. Ini bukan soal siapa salah dan benar, tapi lebih ke sesama menyadari keadaan dan fokus dalam penanganan. Apa lagi ini sifat mendesak karena berkenaan keselamatan nyawa warga. Kita minta Kadinkes, tolong ubah paradigma yang ada. Keselamatan nyawa warga adalah utama," pungkasnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjar, Saepudin menyampaikan permintaan maafnya atas adanya pelayanan yang ditunjukan kepala puskesmas Banjar II.
"Ini akan kami jadikan evaluasi untuk mengkaji kembali regulasi terkait SOP peminjamam ambulans dan melakukan pembinaan terhadap Kapus," ujarnya kepada Times Indonesia, Jumat (26/9/2025).
Saepudin membenarkan situasi kedaruratan yang terjadi pada kasus warga kejang-kejang di Desa Neglasari dan mengakui kelalaian pelayanan Puskesmas Banjar II.
"Kami menyayangkan kurang reaponsifnya Kapus dalam kejadian kemarin karena memang situasinya darurat ya. Semoga ini jadi pembelajaran ke depannya agar tidak terjadi lagi," katanya.
Saepudin juga mengapresiasi langkah Desa Neglasari yang langsung melarikan pasien darurat ke IGD RSUD Kota Banjar untuk langsung mendapatkan pertolongan medis.
"Standar pelayanan kesehatan khususnya dalam keadaan darurat tidak membedakan status sosial pasien, semuanya sama," katanya.
Informasi terbaru, pasien atas nama Dede saat ini sudah dipindahkan ke ruang perawatan di RSUD Kota Banjar sementara kondisinya belum sadar sepenuhnya dan membutuhkan perawatan intensif. (*)
Pewarta | : Sussie |
Editor | : Faizal R Arief |