TIMES BANJAR, JAKARTA – Lodeh salah satu kuliner dari Jawa yang kerap dihidangkan di meja makan rumahan. Ya, makanan ini adalah sayur yang paling sering dimasak oleh keluarga di Jawa.
Sayur dengan kuah santan dengan aneka ragam isian itu biasanya disandingkan dengan ikan pindang, tahu, tempe atau telur dadar. Ditambah kerupuk wih makin sip.
Tapi tahukah Anda bahwa sayur lodeh tak sekadar sayur rumahan. Makanan ini punya makna filosofi tersendiri bagi penduduk Jawa.
Asal usul lodeh
Ada beberapa versi asal muasal sayur lodeh. Sayur lodeh sudah ada sejak abad ke- 10 di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Saat itu warga Jateng dan Yogyakarta sedang dilanda kesusahan akibat dampak letusan Gunung Merapi yang tak kunjung usai.
Warga membuat sayur istimewa dengan tujuh isian sayur mayur. Tujuannya supaya efek pasca letusan merapi lekas membaik.
Sumber lain menyebut, lodeh ditemukan sekitar abad ke-16 atau ke- 17. Masa itu, Bangsa Spanyol dan Portugis yang menguasai Nusantara mulai menanam jagung dan kacang panjang.
Dari hasil panen jagung dan kacang itu, warga setempat khususnya Jawa mengolahnya dengan menambahkan kuah santan yang gurih pedas. Jadilah lodeh.
Sementara dari buku kumpulan resep tradisional nusantara disebutkan lodeh baru ada pada awal abad ke-20. Kemunculan lodeh erat kaitannya dengan wabah pes yang melanda Jawa lebih dari dua dekade,
Sultan Hamengkubuwono VIII memerintahkan warga intuk memasak sayur lodeh dengan tujuh isian jenis sayur mayur dan berdiam diri di rumah selama 45 hari.
Warga pun menuruti titah sang Raja. Dan benar saja wabahpun berakhir.
Makna filosofis dari lodeh
Melihat dari sejarah lodeh di Jawa, dapat diambil kesimpulan bahwa sayuran ini merupakan tolak bala. Sultan Hamengkubuwono VIII tak sekadar memberikan usulan memasak sayur lodeh dengan tujuh rupa isian, namun setelah beliau melakukan semedi.
Banyak yang percaya bahwa Sultan Hamengkubuwono VIII dan raja-raja di Nusantara memang punya 'kemampuan khusus'.
Adapun tujuh rupa isian dari lodeh yang dititahkan Sultan Hamengkubuwono VIII adalah kluwih, cang gleyor atau kacang panjang, terong, kulit melinjo, waluh, godong so (daun melinjo), dan tempe.
Masing-masing isian lodeh itu juga punya makna tersendiri. Kluwih bermakna kaluwargo luwihono anggona gulowentah gatekne yang artinya keluarga harus diperhatikan dengan banyak memberi nasihat dan perhatian.
Cang gleyor bermakna cancangen awakmu ojo lungo-lungo, artinya warga harus menahan diri untuk tinggal di rumah, jangan banyak bepergian untuk hal yang tidak penting.
Filosofi terong adalah terusno anggone olehe menambah Gusti ojo ditanyeng atau beribadahlah secara rutin jangan hanya beribadah saat ingat saja.
Sedangkan kulit melinho bermakna filosofi ojo mung ngerti njobone ning kudu reti njerone babakan pageblug, atau jangan hanya melihat yang kasat mata tetapi harus juga melihat lebih dalam dan sering melakukan instropeksi diri.
Waluh pun punya makna filosofi, yaitu uwalono ilangono ngeluh gersulo yang berarti jangan sering mengeluh, banyak-banyaklah bersyukur.
Godong so atau daun melinjo bermakna godong gilig donga kumpul wong sholeh sugeng kaweruh babagan agomo kan pageblug. Artinya perbanyak berkumpul dengan orang-orang yang saleh dan pelajari tentang wabah penyakit/bencana.
Yang terakhir makna filosofi dari tempe, temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah artinya harus banyak bersabar, tangguh dalam menghadapi ujian dan selalu memohon bantuan Tuhan.
Di samping makna filosofi tersbeut, tentunya aneka isian lodeh juga kaya akan kandungan gizi yang bermanfaat untuk tubuh.
Dari makna tersebut, warga Jawa Tengah, Yogyakarta makin yakin bahwa sayur lodeh bukan sekadar makanan rumahan, tapi hidangan istimewa untuk penolak bala. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Sayur Lodeh Tak Sekadar Panganan Rumahan, Tapi juga Sebagai Penolak Bala
Pewarta | : Dhina Chahyanti |
Editor | : Dhina Chahyanti |