TIMES BANJAR, BANJAR – Banjar Kota Ripuh lebih ramai diperbincangkan daripada Banjar Berdaya, mengingat sudah 150 hari kerja lebih kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih sejak dilantik pada 20 Februari 2025, belum menunjukan perubahan signifikan terhadap kemajuan Kota Banjar.
Slogan “Banjar Berdaya” yang diusung Pemerintah Kota Banjar dinilai belum sepenuhnya sejalan dengan kondisi di lapangan.
Pemerintah terkesan lebih banyak hadir dalam acara-acara seremonial yang secara umum belum dirasakan langsung manfaatnya oleh seluruh masyarakat. Program Berdaya yang digadang-gandang tersebut masih sekedar program template yang hanya berganti nama dan judul saja.
Kota Banjar yang merupakan sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, mengusung slogan “Banjar Berdaya, Bangun Masagi”, tentu merupakan sebuah visi optimistik yang seharusnya mencerminkan masyarakat yang Mandiri, Aman, Sejahtera, Agamis, Guyub, dan Inovatif, sesuai dengan akronim dari kata Masagi.
Namun, di balik gemuruh slogan dan jargon itu, fakta di lapangan saat ini masih menunjukkan kondisi sebaliknya: Banjar masih terjerat berbagai persoalan mendasar yang membuatnya “ripuh” alias rapuh.
Padahal Kota Banjar merupakan daerah yang strategis sebagai kota penyangga dan pintu gerbang, yang seharusnya memiliki potensi ekonomi yang besar namun juga masih menghadapi tantangan dalam pembangunan.
Meskipun menjadi titik pertemuan berbagai jalur transportasi dan memiliki sejarah sebagai kota yang ramai, Kota Banjar juga dihadapkan pada masalah kurangnya lapangan pekerjaan dan ketergantungan pada sektor informal.
Jika pada masa lalu, Kota Banjar dikenal sebagai kota yang tak pernah tidur, dengan pusat keramaian di tengah kota, aktifitas lalu lalang di statisun dan terminal bus serta keberadaan pasar tradisional sebagai tempat utama tujuan berbelanja, yang mendukung perekonomian kota, jelas jauh berbeda dengan saat ini.
Paradoks ini menunjukkan bahwa meskipun Kota Banjar memiliki potensi besar sebagai kota transit, Kota Banjar masih perlu berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup warganya dan mengembangkan potensi ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Beberapa fakta-fakta menunjukkan tantangan besar bagi Pemerintah Kota Banjar dalam mewujudkan visi pemberdayaan masyarakat dan agar terlepas dari beban Banajar sebagai Kota Ripuh.
Pada sektor ekonomi, Kota Banjar tercatat sebagai salah satu kota dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi di Jawa Barat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banjar per April 2025, persentase penduduk miskin di Kota Banjar mencapai 5,35 % atau sekitar 11,2 ribu jiwa dari total penduduk 209,1 ribu jiwa (BPS Banjar, 2025). Angka ini menempatkan Banjar mendekati rata-rata kemiskinan Provinsi Jawa Barat yang sebesar 7,08%.
Kemudian laju pembangunan ekonomi Kota Banjar pun cenderung lambat. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Banjar hanya sekitar Rp26,4 juta, sedangkan rata-rata PDRB per kapita Jawa Barat sudah mencapai Rp52,65 juta (BPS Jawa Barat, 2025). Ini menunjukkan ketimpangan daya saing dan rendahnya kualitas investasi lokal.
Selanjutnya di sektor ketenagakerjaan, Kota Banjar masih bergantung pada sektor informal dan pertanian tradisional. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Kota Banjar per April 2025 sebesar 5,44%.
Banyak masyarakat terutama anak mudanya memilih merantau ke kota-kota besar atau bahkan ke luar negeri karena di kampung halaman peluang kerja yang layak masih langka.
Selain itu infrastruktur sosial pun belum merata. Data Dinas Kesehatan Kota Banjar pada 2023 mencatat, rasio fasilitas kesehatan dasar dan tenaga medis masih di bawah standar. Beberapa Puskesmas masih kekurangan dokter umum maupun tenaga perawat.
Sementara itu, kualitas pendidikan juga menghadapi tantangan: angka rata-rata lama sekolah di Banjar hanya 7,8 tahun, artinya rata-rata penduduk hanya lulus setingkat SMP.
Jadi, munculnya sebutan Banjar Kota Ripuh menjadi dianggap relevan, karena antara slogan Banjar Berdaya dengan kenyataan terasa bertolak belakang, sehingga wajar jika menimbulkan pertanyaaan masyarakat di mana letak “berdayanya”? Bukankah pemberdayaan seharusnya berarti mandiri? Mampu berdiri di kaki sendiri, bukan sekadar bangga dengan plang program dan poster motivasi.
Sudah waktunya slogan Banjar Berdaya dikawal dengan aksi nyata. Pemberdayaan harus menyentuh akar: reformasi birokrasi, pendampingan usaha kecil yang serius, pendidikan berkualitas, pemerataan fasilitas kesehatan, hingga mendorong warganya benar-benar produktif di tanah sendiri. Tanpa itu, “Berdaya” hanya kata indah di panggung politik, sementara di rumah-rumah penduduk, kegetiran tetap bersemi.
Banjar Berdaya, Bangun Masagi seharusnya bukan hanya slogan, tapi kenyataan. Dan kalau hari ini Kota Banjar masih ripuh, maka kita semua terutama pemerintah daerah punya PR besar untuk membenahinya bersama-sama.
Paradoks ini semakin jelas terlihat ketika pemerintah daerah gencar mempromosikan berbagai program pemberdayaan masyarakat, mulai dari UMKM, wisata, hingga penguatan desa.
Namun di lapangan, program ini sering terbentur realisasi yang tidak optimal, birokrasi berbelit, dan minimnya evaluasi berbasis data serta praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang masih marak terjadi di Kota Banjar. Akibatnya, pemberdayaan hanya slogan, tidak bertransformasi menjadi kesejahteraan nyata.
Ironisnya, di balik status “kota otonom” sejak 2002, Banjar belum mampu lepas dari ketergantungan pada dana transfer pemerintah pusat.
Lebih dari 70% APBD Banjar masih bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya menyumbang sebagian kecil, sekitar 11% dari total APBD tahun 2024, apalagi di pertengahan tahun 2025 ini capaian PAD Kota Banjar baru 14.5%. Bahkan tahun lalu Kota Banjar mengalami defisit anggaran yang cukup besar.
Dengan kondisi ini, “Banjar Berdaya” seolah hanya menjadi simbol optimisme di atas kertas, tetapi di realitas, Banjar justru rapuh secara sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
Ini menjadi tantangan besar bagi semua pihak mulai dari pemerintah daerah, DPRD, Aparat Penegak Hukum, organisiasi atau komunitas, akademisi, hingga masyarakat akar rumput, untuk bergerak lebih konkret, melepaskan diri dari retorika, dan berfokus pada pembangunan yang benar-benar memandirikan warga. Karena jika tidak, slogan Banjar Berdaya hanya akan tinggal slogan. Sementara warganya tetap ripuh di negerinya sendiri.
***
*) Oleh : Herwanto, S. IP., Aktivis dan Pemerhati Sosial serta Pemerintah Kota Banjar.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Sussie |
Editor | : Hainorrahman |