TIMES BANJAR, BANJAR – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia cabang Kota Banjar mengimbau pengusaha hotel, restoran dan cafe untuk sementara tidak memutar musik atau lagu-lagu.
Perwakilan PHRI Kota Banjar, Buana Surya Kusumah menyampaikan imbauan tersebut merupakan buntut dari aturan royalti musik untuk penggunaan komersial seperti di hotel, kafe dan restoran.
"PHRI pusat sudah membuat nota kesepahaman dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tentang penarikan royalti untuk anggota PHRI pada tahun 2016 silam," sebutnya, Selasa (5/8/2025).
Buana mengatakan bahwa merujuk pada UU nomor 28 tahun 2014, semua tempat usaha termasuk taxi, kapal laut, pesawat dan yang lainnya jika memperdengarkan musik, wajib bayar royalti ke LMKN.
Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan/atau musik.
"Setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. LMKN nantinya bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pecipta dan pemilik hak terkait," jelasnya.
Menurutnya, situasi tersebut kemungkinan besar akan berdampak terhadap industri pariwisata mengingat sektor-sektor tersebut sudah identik dengan memperdengarkan musik yang dinikmati pengunjungnya.
"Untuk sementara, sebaiknya jangan dulu memutar atau memainkan lagu ditempat usaha jika tidak mau bayar royalti. Jangankan dari situs musik yang free, lagu ciptaan kita sendiri, jika diputar ditempat usaha, kita juga wajib bayar royalti ke LMKN," terang Buana.
"Tapi jika rekan-rekan pengusaha tetap mau memutar musik ya biar aman harus bayar royalti dulu ke LMKN. Inti nya kita juga paham pentingnya menghargai perlindungan terhadap hak cipta termasuk karya musik, namun kita juga pengusaha hotel, cafe, resto, ingin menyampaikan bahwa saat ini industri tersebut sedang tidak mudah, jangan sampai niat baik pemerintah untuk melindungi hak cipta justru meruntuhkan daya saing sektor lain, terutama bidang hotel, cafe dan resto yang sedang berjuang untuk bisa bertahan dalam situasi yg sulit seperti saat ini," tutur Buana.
Secara pribadi, Buana berharap agar pemerintah daerah bisa menjadi fasilitator untuk menjembatani pelaku usaha dan LMKN, khususnya di Banjar yang mayoritas pengusahanya masih di kelas kecil dan menengah.
"Kita baru bangkit menggeliat dan belajar merangkak lagi di usaha ini, eh malah ada aturan seperti ini. Kami khawatir jika ada yang belum tahu malah kena sidak dan akhirnya berurusan dengan hukum seperti yang terjadi pada Mie Gacoan di Bali," kecamnya.
"Selain itu, kami berharap pemerintah bisa memberikan sosialisasi tentang masalah ini karena saat ini isu pembayaran royalti ini sudah ramai dan membuat pelaku usaha ketar ketir," harapnya
Sementara itu, Nova, salah satu karyawan rumah makan franchise di Kota Banjar mengungkap sejak ada penarikan royalti, atasannya menginstruksikan larangan memutar lagu.
"Iya dari pusat dilarang memutar lagu-lagu komersil. Kami diberikan list judul lagu yang bisa diputar yakni lagu-lagu nasional," jelasnya kepada TIMES Indonesia.
Kopitiam Mang Ade, melalui karyawannya juga berhenti memutar musik dan lagu-lagu yang biasanya memenuhi ruangan cafe.
"Mengikuti imbauan PHRI dahulu sampai ada aturan yang jelas," katanya.
Hal serupa disampaikan Ade, pengelola Cafe Selma di Wilayah Desa Mekarharja yang menyebut bahwa pihaknya mengikuti apa yang diimbau oleh PHRI.
"Kami ikuti saja imbauan PHRI untuk tidak memutar lagu di cafe," pungkasnya. (*)
Pewarta | : Sussie |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |