TIMES BANJAR, BANJAR – Persidangan kasus tunjangan perumahan yang melibatkan Ketua DPRD Kota Banjar, DRK bersama Sekwan, R mendapat perhatian khusus dari dua akademisi terkemuka yaitu Koordinator Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr. Budiyono, S.H., M.Hum, dan Dr. Soma Wijaya, S.H.,M.H (Dosen Hukum Universitas Padjadjaran Bandung).
Kedua akademisi kondang tersebut dihadirkan dalam Seminar Terbuka tentang Perspektif akademis teoritis dan perasaan keadilan masyarakat atas kasus tunjangan perumahan dan transportasi DPRD Kota Banjar yang digelar Satuan Siswa Pelajar dan Mahasiswa Pemuda Pancasila (SAPMA PP) dan BEM STIT Muhammadiyah Kota Banjar di GBI, Kamis (28/8/2025).
Ungkapan mengejutkan disampaikan Budiyono terkait adanya dugaan pelanggaran administrasi yang ditemukan di kasus tunjangan perumahan yang menjadi topik utama di seminar tersebut.
"Saya melihat adanya dugaan kerugian negara yang disebabkan terbitnya perwal yang mengatur tentang tunjangan perumahan dan transportasi sebagai realisasi dari pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2017," ungkapnya seusai menjadi narasumber di seminar terbuka tersebut.
Budiyono melanjutkan bahwa hak pimpinan dan anggota dewan untuk mendapatkan tunjangan perumahan dan transportasi, diatur dalam perwal yang ternyata isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
"Perwal tersebut semestinya mengatur tunjangan perumahan dan transportasi pimpinan dan anggota DPRD sesuai dengan asas kepatutan dan asas kewajaran. Diduga perwal tersebut melanggar asas tersebut dan dianggap keliru dalam mengatur besaran tunjangan perumahan dan transportasi yang terindikasi mengakibatkan kerugian keuangan negara," jabarnya.
Dosen hukum di Unsoed ini menegaskan bahwa Perwal bukanlah produk administrasi dalam penyusunan perundang-undangan. Menurutnya di sini ada kesalahan administrasi karena perwal ini adanya di bidang hukum administrasi.
"Ada kekeliruan dalam proses pembuatan perwal yang indikasinya merugikan keuangan negara. Solusinya perwal tersebut harus dinyatakan tidak sah atau dibatalkan. Jika sudah dibatalkan maka kerugian tadi, bagi yang sudah menerima baru bisa mengembalikan," jelasnya.
Sebaliknya, apabila perwal tersebut belum dibatalkan, Budiyono menegaskan bahwa kemungkinan bagi anggota DPRD diminta mengembalikan adalah tidak mendasar karena tak ada sebab akibatnya.
"Jadi apabila ini ditarik ke pidana ya saya pikir kurang tepat karena ini bukan melawan hukum pidana tapi melawan hukum administratif," bebernya.
Budiyono menambahkan bahwa idealnya setelah wali kota menyadari perwalnya telah melanggar aturan yang lebih tinggi, semestinya segera memerintahkan aparat internal pengawas pemerintah, dalam hal ini ditingkat kota adalah Inspektorat.
"Atau bisa saja ada masyarakat yang menganggap besaran tunjangan tersebut tidak irasional dan telah melukai perasaan keadilan masyarakat, maka bisa mengajukan tuntutan judicial review kepada Mahkamah Agung," katanya.
Sementara itu, Dr. Soma Wijaya, S.H.,M.H, menyebut bahwa dalam kasus tunjangan perumahan dan transportasi yang menjerat Ketua DPRD Kota Banjar, semestinya apabila ada unsur kerugian negara maka lembaga yang menghitung kerugian tersebut bukanlah Inspektorat.
"Untuk menentukan sebuah kebijakan dapat berimbas pada korupsi itu harus clear dulu. Kebijakan itu kan harus diselesaikan dulu secara administratif, tidak tiba tiba. Nah, kalaupun itu muncul berakibat pada kerugian negara kita harus lihat dulu lembaga yang menentukan itu harus jelas lembaga yang memang itu diberikan kewenangan oleh undang-undang misalnya BPK, BPKP atau instansi lain yang diberikan kewenangan oleh undang-undang," tegasnya.
Menurutnya, Inspektorat Daerah tidak boleh dijadikan dasar untuk menentukan penghitungan kerugian karena disitu hanya mendeteksi adanya Indikasi. "Jelas itu keliru harusnya untuk menentukan kerugian Keuangan negara itu lembaga yang diberikan kewenangan sesuai undang-undang seperti tadi BPK dan sebagainya," imbuhnya.
Soma menyayangkan adanya tuduhan perbuatan pidana yang disangkakan kepada penerima tunjangan karena semestinya kasus ini harus membedah terlebih dahulu siapa pembuat perwal.
"Yang membuat perwal itulah yang harus dimintai pertanggungjawaban bukan kemudian langsung dikenakan pidana tapi harus clear dulu perdata, administratif atau pidananya," tegasnya.
"Mari kawal ini ini, ada sesuatu yang perlu diluruskan. Perlu ada pemahaman yang sama jangan sampai ini seolah-olah dieksploitasi ini yang nggak boleh. Penegakan hukum harus lurus, clear, perbuatannya ada, kemudian siapa yang harus bertanggungjawab? siapa yang menerima? Ini yang perlu diluruskan," tambahnya.
Kendati persoalan ini sudah bergulir di meja hijau, Soma menjelaskan bahwa keabsahan Perwal harus dipertanyakan terlebih dahulu. "Itu di situ sebetulnya sumbernya. Ini harus dibatalkan dulu perwalnya. Boleh secara pidana mekanismenya kalo sepanjang itu betul. Celahnya sekarang harus mempersoalkan dulu kenapa Perwal ini tetap dijadikan dasar. Bahkan kan yang harus dijadikan dasar itu perwal yang tahun 2022 tapi ini kenapa tahun 2017-2021? Kan harus ada penjelasan soal itu. Jadi ada problem yang harus diselesaikan dulu bukan secara pidana tetapi secara administratif," pungkasnya. (*)
Pewarta | : Sussie |
Editor | : Faizal R Arief |